Bandung masih saja terlihat sama .
Masih sama seperti ketika empat tahun yang lalu saya meninggalkannya. Meski
cukup banyak perubahan yang terjadi di sana-sini, Bandung masih sama. Aroma
kenangan masih terasa dalam setiap derap langkah saya.
Ciwalk, 10.13 AM
Saya berjalan menyusuri tiap blok
toko pernak-pernik. Mencari sesuatu yang mungkin menarik. Yang mungkin bisa
membuat saya simpatik. Tiba-tiba mata saya menangkap sebuah benda unik. Membuat
kenangan kembali memercik.
“Empat puluh dua ribu lima ratus.
Terima kasih.”kata kasir seraya menyerahkan sebuah bungkusan. Di dalam
bungkusan itu berjuta kenangan saya tentang Bandung tersimpan. Masih lekat
dalam ingatan bagaimana dia memberikan. Dan lalu setelah sekian lama harus saya
kembalikan. Hanya karena sebuah pengakuan.
Saya beri nama Miiko, pemberian itu.
Boneka kucing mungil dengan matanya yang biru. Saya tak pernah suka boneka
kecuali itu. Boneka kucing bermata biru. Yang tatapannya haru. Seperti tatapan
saya saat melepaskannya kembali kepada yang memberikannya dulu.
Cicaheum, 01.22 PM
Hujan rintik mulai menderas. Membuat
saya harus berteduh di sebuah teras. Saya bingung akan ke mana. Tak tahu harus
naik apa. Tiba-tiba di hadapan saya berhenti sebuah angkutan kota. Warnanya
merah muda. Tanpa berpikir untuk kali kedua, saya menaikinya.
Saya menghempaskan diri di kursi
sebelah supir. Berharap dapat membuat semua penat pergi terusir. Lalu
menyalakan sebatang rokok untuk menghangatkan diri. Dan mendengar sang supir
menasehati.
“Merokok nggak baik untuk kesehatan,
Non !”tegur supir itu. Bahasa Indonesianya kaku. Namun, suaranya terdengar
sama. Sama seperti dia. Tiba-tiba saya jadi mengingatnya. Dia, di Bandung… saya
di kota yang sama dengannya.
“Tapi, merokok bisa membuat saya
melupakan kesedihan saya, Mang.”jawab saya sambil menghisap dalam-dalam rokok
di kepitan jari. Lalu menghembus asapnya dan mencoba menikmatinya lagi. Sang
supir berdiam diri. Mungkin enggan berdebat dengan penumpangnya yang hanya
satu-satunya ini.
“Namira…”suara Dade tiba-tiba
berdengung di telinga saya. Memanggil nama saya dengan fasihnya. Saya harap itu
mimpi belaka. Saya mohon itu tidak nyata. Ternyata Dade ada di sebelah saya.
* * *
Kami lalu banyak bertukar cerita.
Dade juga banyak bertanya. Bagaimana Amerika, katanya. Kapan saya sampai di
Jakarta, mengapa saya di Bandung sendirian saja. Dan untuk apa.
Saya tak selalu menjawab
pertanyaannya. Sepertinya ada yang mencekal kerongkongan saya. Menahan setiap
kata yang ingin saya ucap padanya. Sepertinya ada yang melakukannya. Hingga
saya berdiam tanpa menjawab apa-apa.
“Mampirlah ke rumah
kapan-kapan.”ujarnya mengundang kehadiran saya. Saya hanya mengangguk untuk
menyanggupinya. Entah saya benar-benar sudah sanggup atau tidak, untuk melihat
realitanya. Menemui Dade dan istrinya dan anaknya. Melihat realita kalau semua
sudah berbeda. Dulu, cuma cerita. Kenangan saya bersama dia tak akan lagi
pernah ada.
* * *
Rumah, 01.57 PM
Mama dan papa sudah lebih dulu
sampai dari Jakarta. Dengan peluk hangatnya menyambut saya. Ada juga Kak
Reihan, yang langsung memberikan handuk pada saya. Membantu saya mengeringkan
badan yang sudah kuyup oleh hujan. Menanyai saya dengan banyak kekhawatiran.
Menyesali karena ia tak mengantarkan.
Suasana Bandung yang begitu saya
rindukan. Yang sempat hilang empat tahun belakangan. Amerika hanya pelarian.
Pelarian sakit hati. Pelarian tikaman benci. Pelarian tangisan sepi. Amerika
bukan tempat di mana saya ingini. Namun, saya tak sanggup di sini.
Tapi sebelumnya, masih ada yang
harus saya lakukan. Yang hanya bisa di Bandung saya wujudkan. Ini penyelesaian
yang tertahan. Penyelesaian yang harus diselesaikan. Oleh saya. Oleh dia. Oleh
mereka.
* * *
Cigending, (esok hari) 09.14 AM
Rumah sederhana itu berdiri dengan
damainya. Seolah-olah penghuninya begitu bahagia. Saya iri melihatnya, karena
itu bukan rumah saya. Tapi tak berarti saya tak bahagia. Saya bahagia dengan
rumah megah saya. Sangat bahagia.
Seorang anak lelaki menghampiri
saya. Menanyakan pada saya ada perlu apa. Dengan suara cadel-nya. Seperti yang diajarkan
ayah dan ibunya. Lalu pintu rumah terbuka. Anak lelaki itu berlari ke dalamnya.
“Papa…” katanya. Dan saya lihat Dade di sana.
“Ira ?!” setengah terkejut Melani
menatap saya. Seolah-olah saya hantu yang sangat ditakutinya. Tapi saya dapat
mengerti perasaannya. Adakah wanita yang suka, jika suaminya mengundang mantan
pacarnya ? Jawabannya mutlak : TIDAK, dengan huruf kapital semua.
“Hai, Mey…”sapaku sambil tersenyum.
Menunggu sampai dipersilakan masuk ke dalam. Meskipun sinar matahari pagi menghangatkan
badan. Untuk berdiri di teras, saya enggan.
Keadaan rumah itu tak lebih baik
dari rumah Melani. Entahlah, saya baru pertama kali ke sini. Tapi dibandingkan
rumah Melani yang dua kali lipat rumah megah saya. Bangunan kecil ini tidak ada
apa-apanya. Entah apa yang dicari Melani dari dia. Mungkin kasih sayang yang
hilang. Mungkin pegangan di saat gamang.
* * *
Cigending, 03.15 PM
Akhirnya mereka menjelaskan
semuanya. Menjelaskan apa yang seharusnya saya tahu empat tahun lalu. Ternyata,
tak seperti sangkaan saya. Ternyata saya yang harusnya tahu. Kalau Melani dan
Dade adalah sepasang kekasih. Kalau perjodohan yang dibuat Melani adalah ucapan
terima kasih. Ucapan terima kasih karena Dade dan dia pernah punya kisah.
Sebagai ganti dirinya Melani lalu mengirimkan
saya. Saya yang tidak tahu apa-apa. Yang sama sekali tak mengerti jalan
ceritanya. Saya, di sana sebagai orang ketiga dalam hubungan mereka. Yang
seharusnya dipersalahkan atas kehadiran saya. Cinta yang saya punya. Saya :
ORANG KETIGA.
Teras rumah Dade, 01.58 AM
Malam ini saya menginap. Entah apa
yang saya harap. Padahal saya hanya orang ketiga. Perusak hubungan rumah
tangga. Seorang yang sama sekali tak diharapkan kehadirannya. Saya… Namira.
Sebatang rokok mulai saya sulut.
Berharap langit mau menyahut. Setiap pertanyaan saya yang rancu. Tak ada yang
punya jawab untuk itu. Bahkan saya. Bahkan dia. Bahkan mereka. Tapi DIA tahu.
Karena Tuhan Maha Tahu.
“Sejak kapan kamu merokok, Ra
?”tanya Dade yang lalu duduk di kursi sebelah saya. Sembilan belas, saya
menjawabnya santai saja. Tanpa harus merasa berdosa ataupun bangga. Karena saya
jamin dia tak akan berani menanyakan kenapa.
“Sekarang umurmu 23, Ra.”kata Dade,
entah dengan maksud apa. Saya tahu, dan umurmu tiga puluh tujuh, seru saya.
Cuma dalam hati saja. Dade menatap saya lama. Sesaat seperti memiliki waktu,
kembali ke empat tahun lalu.
“Tidak bisa !”saya menepis tangannya
di wajah saya. Bayangan Kak Reihan memenuhi benak saya. Segera saya
mengambilnya dan meyerahkannya pada dia. Dade cuma terdiam menatapnya. Dia
tidak menatap saya. Dia hanya diam seperti empat tahun lalu. Ketika dia
memberitahu. Melani hamil karena dia.
“Itu hanya contoh. Saya belum bikin
untuk disebar.”ujar saya. Namun tiba-tiba Dade mengambil rokok saya. Menyulut
dan menyalakannya. Perlahan, mulai mengisapnya.
Saya tak mengira. Saya pikir Dade
tidak suka. Dengan rokok dan segala macamnya. Saya pikir rokok seperti saya.
Ternyata, lagi-lagi saya salah terka.
“Kalau kamu rokok, aku akan
menyukainya meskipun membenci asapnya. Tapi, aku menyesali pernah menyukaimu
sama seperti aku menyesali perbuatan bodohku bersama Mey. Waktu berlalu, Ra !
Waktu bersama kamu, nggak ada yang bohong tentang perasaanku. Kamu benar-benar
bisa membuatku melupakan Mey. Menggantikannya bahkan lebih…”Dade bicara
berceloteh. Sebelum selesai dia berkata, saya memotongnya.
“Bagaimanapun itu dulu. Sekarang
yang ada hanya : Dade dan Melani, Namira dan Reihan. Semuanya selesai. Besok
sore saya berangkat ke Jakarta. Kamu nggak usah memikirkan saya lagi. Pikirkan,
anakmu dan Melani yang sedang hamil tua.”kataku seraya menyundut rokok ke asbak
dan kembali ke kamar.
* * *
Dalam mobil, 04.19 PM (menuju
Jakarta)
Di dalam mobil bersama Kak Reihan.
Rasanya seperti bermain peran. Saya merasa berada dalam konflik cinta CINTAPUCCINO.
Hanya saja, dia yang saya punya tak seberarti NIMO. Dade hanya sepenggal
kisah dalam waktu. Yang lambat laun akan berlalu.
BANDUNG hari ini, terlalu cerah
untuk sang abu-abu. Terlalu terik untuk sang rintik. Terlalu bahagia untuk
duka. Terlalu manis untuk pahit, terlalu banyak senyuman untuk menangis.
Bandung hari ini, apa dia tahu ? Apa dia merasa ? Bandung hari ini...cinta itu
sudah tiada.